Suara Genz - Presiden Uganda, Yoweri Museveni, telah menandatangani undang-undang yang dikenal sebagai undang-undang anti-LGBT. Undang-undang ini memiliki ketentuan yang sangat keras, termasuk hukuman mati bagi "pelanggar berantai" yang melawan hukum dan menularkan penyakit mematikan seperti HIV/AIDS melalui hubungan seksual sesama jenis. Selain itu, orang yang mempromosikan homoseksualitas juga bisa dipenjara hingga 20 tahun.
Museveni berpendapat bahwa homoseksualitas merupakan "penyimpangan" dari nilai-nilai "normal" di negara tersebut, dan ia mendesak anggota parlemen untuk melawan apa yang ia sebut sebagai tekanan "imperialis". Pada saat yang sama, pencantuman hukuman mati dalam undang-undang ini telah memicu kemarahan di banyak negara di seluruh dunia.
Sebelum adanya undang-undang ini, dalam regulasi Uganda sebelumnya, pelaku hanya akan dihukum maksimal 10 tahun penjara jika sengaja menularkan HIV. Namun, hukuman ini tidak berlaku ketika orang yang tertular infeksi mengetahui status HIV pasangan seksual mereka. Dalam undang-undang baru, tidak ada perbedaan antara penularan yang disengaja dan yang tidak disengaja, serta tidak ada pengecualian berdasarkan kesadaran akan status HIV pasangan.
Meskipun begitu, dalam versi amandemen undang-undang ini, dijelaskan bahwa mengidentifikasi diri sebagai LGBT bukanlah bentuk kejahatan. Selain itu, undang-undang baru ini juga merevisi aturan yang mewajibkan orang untuk melaporkan aktivitas homoseksualnya, menjadi hanya wajib melapor jika seorang anak terlibat.
Banyak warga Uganda, terutama kaum LGBT, merasa kecewa dengan keputusan pemerintah dan menganggapnya sebagai hal yang memalukan. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Kanada, juga menyuarakan kemarahan mereka terhadap undang-undang ini dan menyebutnya sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Sikap anti-LGBT di Afrika pada umumnya memiliki akar sejarah pada masa kolonial, termasuk pengaruh hukum pidana Inggris yang melarang sodomi. Namun, pada tahun 1967, Inggris akhirnya melegalisasi hubungan sesama jenis.
Situasi ini mencerminkan perbedaan dalam pandangan dan pendekatan terhadap LGBT di berbagai negara, dan tantangan yang dihadapi oleh komunitas LGBT di Uganda dan di negara-negara Afrika lainnya.