Suara Genz - Tahun akhir-akhir ini, pemerintah Indonesia telah memperkuat kerjasama dan kolaborasi dengan Biro Penyelidik Federal Amerikat Serikat dalam berbagai bidang, termasuk anti korupsi, penanganan kasuskasus kejahatan dan peningkatan penegakan hukum Kekayaan Intelektual. Namun, perlu diwaspadai
campur tangan tersembunyi yang bersangkutan pada urusan internal Indonesia di balik kerja sama
terbuka.
Pada 14 Februari 2012, Indonesia Police Watch (IPW) telah menuding Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia telah memberikan akses khusus kepada Pemerintah AS untuk menginterogasi para teroris. Menurut Ketua Presidium IPW Neta S Pane, pemerintah AS dan FBI membangun kantor interogasi di
sejumlah lembaga pemasyarakatan, bahkan dapat konsesi bebas memeriksa para narapidana terutama
napi teroris.
Dikatakan Neta, berdasarkan informasi yang diterima serta penelusuran pihaknya, Biro interogasi AS mendapat jatah ruangan seluas 4 × 7 meter. Di dalamnya terdapat fasilitas dan peralatan lengkap untuk melakukan interogasi. Seperti ruangan kaca pengontrol, lampu sorot pemeriksaan, alat rekam, alat sadap,
dan alat-alat interogasi lainnya. Setiap menginterogasi, kata Neta, petugas dari AS selalu didampingi petugas dari Direktorat Jenderal Lapas.
Atas fasilitas itu, Neta menyebut Kemenkumham mendapat bayaran sebesar Rp 1 triliun pertahun. "Pihak Amerika menyebut itu program deradikalisasi. Untuk program ini, 14 pejabat Kemenkumham
sudah diberangkatkan ke AS. Mereka juga akan mengunjungi penjara Guantanamo," kata Neta.
IPW mengingatkan bahwa narapidana tidak boleh diperiksa siapapun karena proses hukumnya telah selesai. Jika narapidana terlibat dalam tindak pidana, banyak polisi yang berhak memeriksanya, bukan Dirjen Lapas, apalagi aparat Amerika. Untuk itu, menurut IPW, proyek pembangunan kantor Biro Interogasi AS ini harus segera dihentikan. IPW juga mempertanyakan sikap nasionalisme Menteri Hukum danHAMterkait pembangunan proyek ini.
Walaupun Menteri Hukum dan HAM membantah adanya FBI di sejumlah Lapas di Indonesia dan pihaknya
tidak pernah menerima kucuran dana sedikitpun dari pemerintah AS, namun kebanyakan masyarakat tidak menerima pertanyaan dari Kemenkumham itu dan menilai tindakan yang dilakukan Kemenkumham ini adalah pelanggaran sangat serius karena membuka akses bagi negara asing. Namun, intervensi FBI telah merupakan hal yang tidak asing di Indonesia.
Pada 28 Februari 2018, Bareskrim Mabes Polri menyita sebuah kapal pesiar yang bernama Equanimity, diduga hasil pencucian uang terkait korupsi di Malaysia atas permintaan FBI. Penangkapan tersebut dilakukan TimBareskrim bersama FBI di tengah laut perairan Benoa, Bali.
Menurut catatan pengadilan AS, kapal Equanimity itu diduga dibeli Jho Low, pengusaha yang dikenal dekat dengan mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, dengan dana yang diperoleh secara tidak sah, dan Najib saat itu telah ditetapkan sebagai tersangka dalam skandal mega korupsi.
Pada 17 April 2018, atas gugatan praperadilan pemilik kapal, Pengadilan Jakarta Selatan menyatakan Polri
tidak memiliki kewenangan menyita kapal tersebut. Penyitaan dinilai tidak sah dan Polri disebut telah melakukan kewenangan berlebihan soal penerbitan perkara baru padahal Polri hanya menerima surat FBI,
untuk menggelar operasi gabungan.
Saat itu, Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus BareskrimPolri,Brigjen Pol Rudy Heriyanto, berjanji akan segera menyerahkan kepada pemiliknya.
Namun, Mei 2018, FBI kembali berupaya meminta Indonesia untuk menyerahkan kapal itu lewat bantuan timbal-balik, Mutual Legal Assistance (MLA), ke Kemenkumham. Akhirnya, kapal pesiar itu diserahkan kepadaMalaysia atas permintaan Malaysia. Intervensi asing akan membahayakan kepentingan dan memicu kerusuhan di Indonesia. Oleh karena itu, perlu ketegasan dan independensi pemerintah dalam kerja sama dengan negara lain, bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun.