Suara Genz - Industri kreatif, periklanan, dan penyiaran ramai-ramai menolak larangan iklan produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan turunan UU 17/2023 tentang Kesehatan.
Asosiasi di Bidang Jasa Periklanan, Media Penerbitan dan Penyiaran sama-sama menilai larangan iklan produk tembakau, termasuk iklan rokok dan rokok elektrik, dapat mematikan usaha mereka.
Untuk itu, enam pimpinan asosiasi menolak dengan menandatangani surat resmi berisi masukan dan keberatan terhadap RPP Kesehatan. Adapun surat itu ditujukan kepada Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin.
Adapun surat penolakan itu ditandatangani oleh Ketua Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Janoe Arijanto. Kemudian, Ketum Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) sekaligus Direktur Corsec MNC Group, Syafril Nasution.
Lalu, Ketum Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia (APPINA) Eka Sugiarto, Ketua Indonesian Digital Association (IDA) Dian Gemiano, Ketum Asosiasi Perusahaan Media Luar-griya Indonesia (AMLI) Fabianus Bernadi, dan Dede Imam dari Ikatan Rumah Produksi Iklan Indonesia (IRPII).
Para pelaku usaha menyebut ada tiga pasal usulan yang memberatkan pelaku industri kreatif. Pertama, pemangkasan waktu tayang iklan rokok di televisi. Tadinya, iklan rokok boleh tayang pada pukul 21.30-05.00, lalu dipangkas menjadi 23.00-03.00.
Kedua, larangan menampilkan produk tembakau di berbagai jenis platform, baik media elektronik, aplikasi, media sosial, toko, hingga media luar ruang.
Itu termasuk larangan total untuk kegiatan kreatif. Seperti halnya, konser musik, terlepas dari pembatasan umur penonton atau pengunjung yang hadir.
Ketiga, produk tembakau dilarang tampil dalam peliputan tanggung jawab sosial atau kegiatan corporate social responsibility (CSR).
Industri kreatif menegaskan produk tembakau adalah komoditas legal dan berhak menargetkan orang dewasa sebagai konsumennya. Oleh karena itu, industri kreatif menolak poin RPP yang melarang total iklan produk tembakau.
"Untuk itu Industri Kreatif Nasional menolak Poin Larangan Total Iklan Produk Tembakau yang dituangkan dalam berbagai usulan regulasi (Revisi PP 109/2012 dan RUU Penyiaran)," ungkap surat pernyataan gabungan asosiasi.
Mengancam Keberlangsungan Pekerja
Lebih lanjut, ada tiga butir pertimbangan dari para pimpinan asosiasi kreatif dan penyiaran. Pertama, keberlangsungan pekerja di industri kreatif dan penyiaran dapat terancam jika ada larangan total iklan rokok.
Para asosiasi menilai, kontribusi iklan produk tembakau sangat besar mencapai Rp9 triliun. Itu termasuk dalam sepuluh besar kontributor belanja iklan media di Indonesia.
Sementara itu, kontribusi iklan produk tembakau terhadap media digital sekitar 20% dari total pendapatan media digital di Indonesia. Adapun nilainya mencapai ratusan miliar rupiah per tahun.
"Rencana pelarangan total iklan pada pasal pengamanan zat adiktif RPP Kesehatan secara langsung mengurangi pendapatan industri kreatif, hiburan, periklanan, serta media yang pemasukannya dari penerimaan iklan dan promosi," ulas surat tersebut.
Pertimbangan kedua, industri ekonomi kreatif nasional sudah patuh pada aturan iklan produk tembakau. Juga, mendukung upaya pemerintah menurunkan prevalensi perokok anak.
Salah satunya, regulasi yang selama ini menjadi pedoman industri penyiaran, yakni PP 109/2012. Para pelaku industri kreatif tersebut mengklaim sudah mematuhi aturan secara disiplin.
Industri Tak Dilibatkan Susun RPP
Pertimbangan ketiga, para pimpinan asosiasi menolak larangan iklan rokok di RPP, karena dalam penyusunan RPP tersebut, industri kreatif tidak pernah dilibatkan.
"Kami tidak pernah diinformasikan dan dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan yang akan berdampak terhadap keberlangsungan usaha," urai surat masukan kepada Menkes Budi Sadikin itu.
Pimpinan asosiasi menyayangkan sikap pemerintah yang tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan pelaku usaha sebagai salah satu pemangku kepentingan. Kementerian pembina sektor industri juga tidak menginformasikannya.
Oleh karena itu, pelaku industri kreatif yang menolak pasal larangan iklan rokok meminta pemerintah untuk melibatkan mereka dalam proses penyusunan kebijakan. Utamanya, yang akan berdampak terhadap industri kreatif.
"Kami terbuka dalam diskusi penyusunan kebijakan agar dalam perubahannya tidak merugikan para pelaku industri kreatif, serta tepat sasaran dalam mendukung upaya pemerintah, dan berharap agar dilibatkan," ulas surat tersebut.
Editor : Qurrota A'yun